Selasa, 11 Agustus 2009

OPINI

Tanggal 21 April tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kita kembali memperingati ” Hari Kartini”. Sebuah momentum yang dibangun untuk menghargai jasa Raden Ajeng Kartini, yang telah mempelopori perjuangan bagi perbaikan nasib kaum wanita.Yang agak berbeda adalah, peringatan tahun ini terasa lebih semarak dan lebih banyak kalangan masyarakat yang memperingatinya. Para pegawai kantor yang bersentuhan dengan jasa / pelayanan, banyak yang mewajibkan karyawannya mengenakan kebaya, sebagai wujud peringatan. Di sekolah-sekolah dasar dan Taman Kanak Kanak, diadakan lomba-lomba bernuansa wanita lengkap dengan busana tradisional yang dikenakan oleh guru dan siswa nya. Bahkan pada petugas wanita pada perusahan bus Trans Jakarta pun diwajibkan untuk mengenakan busana kebaya. Saya masih ingat, ”semangat” seperti ini pernah tumbuh beberapa waktu yang lalu sampai era awal tahun 1990-an. Setelah itu –terutama setelah masa reformasi- , semangat itu kian mengecil dan padam. Beruntung, sekarang mulai hidup dan membesar kembali.Nilai-nilai perjuangan RA. Kartini, sesungguhnya tidak hanya perlu dipahami oleh kaum wanita. Kaum pria –yang bertindak sebagai para pengambil keputusan dalam lingkup masing-masing- sangat penting memahami esensi dari nilai-nilai perjuangan RA Kartini. Lahir dan hidup ditengah-tengah masyarakat dengan latar belakang budaya Jawa yang paternalistik, pemikiran, sikap dan tindakan Kartini dipandang bagi kebanyakan masyarakat saat itu. Namun dengan kegigihan upayanya, ungkapan-ungkapan pemikirannya –lewat surat kepada sahabatnya- , akhirnya diketahui dan dipahami oleh banyak orang.Kini, setelah sekian lama RA Kartini tiada, nilai-nilai perjuangan dan semangat pembaharuannya, masih tetap relevan untuk diaktualisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Paling tidak ada beberapa hal penting yang menjadi catatan Adanya persamaan derajat / kesetaraan gender (antara kaum pria dan wanita). Laki-laki, tidak tepat lagi memposisikan diri lebih kuat, mulia, superior. Sebaliknya, kaum wanita juga tidak perlu ”merendahkan diri” denganmenyatakan sebagai ”mahluk yang lemah”. Kelemah-lembutan wanita dalam berperilaku, sesungguhnya adalah sebuah kekuatan. Keduanya harus saling menghormati, saling menghargai dan mendudukan posisinya sebagai mitra sejajar RA Kartini mengajarkan kepada kita bahwa siapapun ber-hak untukmemiliki perbedaan-perbedaan pemikiran, dan tidak berakibat pada sebuah konflik.